Aku (bukan) ultraman
Selamat pagi!
Ya selamat pagi.. karena aku menuliskan ini di pagi hari.
Alhamdulillah, masih diberi kesempatan untuk lebih baik lagi. Untuk lebih
hidup. Untuk lebih bisa menata hati, pikiran, diri, dan hidup lebih baik lagi.
Semoga.. aamiin, untuk kita semua.. aamiin.
Hari Sabtu, hari libur. Hari di mana aku sedikit bisa
meregangkan neuron-neuron. Selama 4 hari aku telah melewati UAS 5, tersisa 2
hari lagi. Hari ini, pagi ini, ingin meregangkan pikiran dengan hobi sejenak.
Trenyuh banget pagi ini usai membaca blog favoritku milik mahasiswi di salah
satu universitas ternama di negeri ini. Ditambah lagi, akhir-akhir ini sederet
kejadian, peristiwa, event, dan
banyak hal lain cukup keras mencambuk diriku. Lengkap sudah jika aku ingin
menuangkan semua itu ke dalam secerca kata-kata.
Aku terlampau sadar telah menginjak usia menuju dewasa.
Tepat 3 hari yang lalu, satu bulan lagi usiaku bakal bertambah. Jika
kawan-kawanku bilang, semakin tua. Banyak juga teman-temanku yang telah lebih
dulu menginjak usia ini beberapa hari yang lalu. Meskipun mereka nampak biasa
saja, aku yakin pasti di dalam hatinya terbesit bahwa mereka sudah bukan
anak-anak lagi. Tinggal mematngkan usia tersebut sebagaimana mestinya. Begitu
juga denganku, meski aku belum benar-benar mencapai usia itu, aku sudah merasa,
saatnya berubah! Ayo lebih baik lagi..
Membaca blog mahasiswi tadi, di mana tulisannya yang tertata
apik dan cukup bagus tentang apa yang dipikirkannya, sehingga apa yang aku baca
tertangkap jelas dengan perasaanku. Di dalam postingannya itu, mbak masis
mengamanatkan kita (pembaca) untuk belajar, belajar tekun, sabar, lebih dewasa,
karena segala sesuatu membutuhkan proses untuk berubah. Pesannya benar-benar
mmebuatku kesulitan untuk memngungkapkannya di sini. Lebih baik dibaca sendiri
gih, karena bagus banget menurutku. Tentang bagaimana dia menghadapi berbagai
peliknya masalah di masa perkuliahan, mengapa ia memilih menjadi mahasiswi
manual, kenapa tidak stan saja, mengapa harus ikut organisasi, mm pokoknya
membuatku berujar iya juga. Nah itu yang aku pikirkan jika aku kuliah nanti,
aku tidak ingin jadi mahasiswi yang sekadar menerima materi kuliah, ngerjain
tugas, lulus, kerja, bar. Tidak. Aku
ingin mengasah diriku dengan berbagai pengalaman, proses, cambukan-cambukan,
aku ingin jadi orang –seperti apa yang dikatakan mbaknya-. *uhh pengen
menitikkan air mata*. Namun, kadang juga terlintas dipikiranku, bagaimana aku
segera membantu orang tuaku. Aku ingin jua bekerja menggantikan ibuku.
Bagaimana sesegera mungkin aku mengulurkan lembaran uang untuk orang tuaku.
Sehingga kadang aku berpikir, pilih kedinasan aja. Walaupun bertentangan dengan
cita-citaku, apa sih yang enggak demi orang yang telah membesarkan kita hingga
saat ini. Sering aku iri dnengan orang-orang sukses yang berhasil emmboyong
trophy-trophy kejuaraan denagn tunjangan yang cukup menggiurkan, bagaimana
mereka bisa meraih itu semua? Usahanyakah yang luar biasa? Atau otaknya yang
begitu encer dan skillnya yang cukup
mumpuni di bidang perlombaan yang mereka ikuti? Jelas, aku iri. Terelbih aku
iri dengan diriku sendiri beberapa tahun yang lalu, di mana aku bisa mengukir
senyum orang tua dan saudara ku berupa piala-piala kejuaraan. Jika dulu aku
bisa, mengapa sekarang tidak? Apa yang salah?. Hal ini nampaknya berkaitan
dengan materi liqo yang disampaikan oleh murobbiku kemarin, tentang agar kita memperoleh
keyakinan. Bahwa diri kita itu harus dievaluasi, dibenahi, dimuhasabahi. Bercermin.
Bolehlah membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tapi jangan dijadikan
acuan. Contohnya, ada teman yang memiliki hp canggih, trus kita pengen punya
juga, nah kalo kayak gitu nggak ada habisnya. Ada yang punya jam atau baju baru
bagus, tanya beli di mana, harga berapa. Kapan bersyukur?. Cara yang lebih
tepat yakni dengan emmbandingkan diri sendrii denagn setahun yang lalu
istilahnya. Dulu nggak punya hp, atau hp yang diri ini miliki tidak sebagus
yang dulu, itu akan lebih baik. Kalau dulu bisa onedayonejuz, sekarang dua
lembar aja berat. Ah meneydihkan sekali.. . kemarin rajin hafalan, sekarang kok
seharinaja sering enggaknya? Emang seharian ngapain aja? Kemarinnya lagi, pas
istirahat, kami sekelas belajar buat mempersiapkam tes lintas ora minat. Di
situ aku sama temanku, Ts----, malah berbicara tenatng orang-orang hafidz. Dia
bercerita kalu adiknya yang masih SD itu udah sampe juz 27. Jujur, saat itu,
hatiku teriris, bukan karena anak SD yang sudah hafal sampai juz 27 (itu mah
aku udah sering denger, bahkan anak TK pun udah pada 10 juz), tapi tentang
pembicaraannya yang mengingatkan aku dengan diriku, bagaimana denga hafalanku?
Aku yakin sekali, semua orang
jika ditanya, “pilih pintar atau bodoh?”, jawabannya sudah tidak perlu aku
jawab. Sangat jelas tidak akan ada yang akan memilih bodoh, sekalipun itu orang
apa, kecuali kurang satu sendok. Mirip sekali dengan, “pilih jadi lebih baik
atau lebih buruk?”kata-kata yang notabenenya tebentuk lewat lidah tak
bertulang. Mungkin kah terucapkan oleh tangan? Tidakkan. Sama persis dengan
sebuah keinginan untuk lebih baik, paling mudah adalah lewat lisan. Sedangkan
paling penting adalah lewat hati, pikiran, dan tindakan. Benar? Begitu juga
dengan perubahan, berkali-kali aku ucapkan, adakah perubahan? Ada, dengan
adanya lisan yang berkata-kata. Bagaimana pada kenyataannya? Belum tentu nol.
Jadi pada intinya, naik turunnya, lembah bukitnya gelombang, bahkan ombak,
adalah sebuah proses. Aku yakin lagi, bahwa apa yang kita alami adalah bagian
sebuah proses, proses abgaimana kita tidak tsayat gagal, kembali pada tujuan
awal, memperbaiki kesalahan yang terlewat, proses bersabar terhadap berbagai
pelajaran, mengahrgai setiap proses yang terjadi dalam hidup. Tidak langsung
bak ultraman, ‘berubah!’ jadilah
mobil..
Aku bukan mau sok atau bagaimana.
Aku bukan orang yang pandai berkata-kata bahkan menuliskannya lewat tulisan
apik. Tulisanku pun masih sangat amburadul rajelas.
Di balik ini semua baru-baru ini banyak sekali banget kejadian ‘gagal’ dalam
sejarahhidupku. Cukup memalukan. Tidak berbanding lurus dengan usiaku saat ini.
‘dewasa’ ini, aku maju presentasi saja pakai keringat dingin, demam panggung,
tangan bergetar, bahkan mati gaya dan tidak mampu berucap bagai lidah yang
tiba-tiba bertulang. Maluuu sekali. Tidak hanya behenti sampai di situ, actionku itu juga dibarengi dnegan nilai
akademikku yang semakin tidak tentu. Kesulitan dalam menjawab soal-soal UAS.
Malas belajar. Hwww,, aku jadi ultraman.
Apa yang bisa aku lakukan? Apa yang bisa merubah keadaan? Mustahil aku menarik
matahari di ufuk timur agar kembali fajar, kembali malam, kembali sore, kembali
malam, kembali siang, aku ganti kesalahanku, pakai setip –nggak pake tip-ex-,BISA?
Oleh karena itu, baca kembali tulisan di atas. Mari ‘berproses’. Ingin sukses?
Ingin berubah? Ultraman!!!!
*nggak usah tak semangatin, ntar
malah nggak semangat, nggak nyengat*
saturday, 5 Desember 2015 8:56
saturday, 5 Desember 2015 8:56
Comments