Review Film Jakarta Unfair dan opini mengenai permasalahan kemanusiaan di Indonesia
Film Jakarta Unfair merupakan film tentang
permasalahan kemanusiaan yang begitu menyentuh nurani. Film ini diawali dengan
ekspresi anak-anak laki-laki yang dengan polosnya berbincang dengan wartawan.
Keceriaan anak-anak itu menggambarkan bagaimana kebahagiaan mereka di
kampungnya. Film yang tak diizinkan tayang tersebut menyajikan kekontrasan
keadaan di Ibukota Indonesia. Jakarta, seperti yang kita tahu, kota yang paling
tersohor kemacetannya yang sangat padat, lalu-lalang kesibukan orang mencari
nafkah, suasana mall megah dengan segala kenikmatannya, dan jika dilihat dari
langit Jakarta terlihat sebagai ibukota yang hanya berisi gedung-gedung
pencakar langit, perumahan tanpa sekat pepohonan, juga jalan raya yang dipenuhi
kepadatan kendaraan.
Penggusuran, adalah satu hal yang kasusnya seakan
tak pernah habis terjadi di ibukota. Rakyat menangis pilu, menjerit, bahkan
pingsan, sebab tidak sanggup menyaksikan tempat tinggalnya digusur oleh
pemerintah. Proses penggusuran juga tak terlepas dari adu hantam dengan satpol
PP. Dengan perlengkapannya, Satpol PP dan petugas memberi balasan kepada warga
yang melawan tidak terima dengan penggusuran. Salah seorang warga menuturkan
bahwa mereka sudah menempati tempat tinggalnya selama bertahun-tahun dan mereka
memiliki surat tanah atau sertifikat. Giliran masa pemilu atau pilkada, mereka
didata nama-namanya, tetapi ketika pemerintah atau pejabat sudah duduk di kursi
pemerintahan, dengan seenaknya pemerintah menggusur warga pinggiran dengan
paksa, bahkan tanpa ganti rugi. Seakan pemerintah lupa, yang membesarkan nama
mereka adalah rakyat yang kini mereka gusur.
Kisah-kisah miris disajikan dengan jelas di film
ini. Ada beberapa kampung yang menjadi saksi atas ketidakadilan yang terjadi di
Jakarta yaitu Kampung Bukit Duri, kampung Kalijodo, Kampung Akuarium, dan
kampung lainnya di Jakarta. Warga di beberapa kampung tersebut harus menelan
pil pahit, mereka digusur dan rumah-rumah mereka sudah rata dengan tanah.
Tempat tinggal mereka yang berada di bantaran sungai atau tempat kumuh,
berusaha digusur karena pemerintah akan merevitalisasi atau merelokasi tempat tersebut dengan alasan tata
kota, membangun bangunan, dan lainnya. Warga yang digusur, dijanjikan rumah
susun yang letaknya jauh dari tempat tinggal asal mereka. Mereka yang sudah
tinggal di rumah susun mengatakan, bahwa tinggal di rumah susun memang enak,
gedungnya tinggi, dan fasilitasnya nyaman. Di sisi lain, mereka harus rela
kehilangan pekerjaan dem mencukupi kebutuhan ekonminya. Sebagai contoh, mereka
yang mata pencahariannya nelayan atau tukang bungkus mainan, ketika di rumah
susun mereka tidak punya pekerjaan. Kesulitan mencari pekerjaan di rumah susun,
membuat mereka juga sulit untuk membayar sewa rumah susun setiap bulannya. Jika
nunggak dalam membayar tiap bulannya, warga akan diberi peringatan dan pintunya
akan disegel.
Warga yang direlokasi oleh pemerintah memang
dijanjikan hunian yang layak berupa rumah susun. Tetapi, pemerintah seakan
tidak memanusiakan manusia. Ada juga mereka yang berpendapat pemerintah
menganggapnya seperti tikus. Mereka dibuang di rumah susun, diabaikan yang
tinggal di kolong jembatan. Padahal kebahagiaan mereka adalah ketika berkumpul
bersama keluarga dengan damai, tak peduli bagaimana kondisi tempat tinggal
mereka.
Warga juga kesal dengan ulah pemerintah, ketika warga
diwawancarai dan warga memuji hasil kerja pemerintah maka ditayangkan, namun
jika warga mengungkapkan kesengsaraannya, pemerintah tidak pernah menayangkan.
Inilah kenyataan yang terjadi di Jakarta, krisis kemanusiaan di mana manusia
seakan tak memiliki Hak Asasi Manusia.
# ditulis untuk memenuhi tugas DM1 KAMMI
Comments