Posts

Showing posts from April, 2016

Suasana Pagi di Dusun Getas

Pada hari liburlah aku leluasa merasakan udara pagi di kampung kelahiranku. Hari di mana sayup-sayup penduduk terdengar hampa. Di hari ini pula, membuka kancing jendela tak terlalu memaksa, tak terlalu menghardik kejam untuk sekadar membuka. Bahkan di hari ini rerasanya segala sesuatu akan terasa santai dan lebih tepatnya malas berat.             Sebagai pelajar dengan penuh onggokan tugas yang selalu menghantui hari-hari biasa, aku pun terlarut dalam jurang kemalasan tadi. Terlebih, aku hampir bingung apa yang harus kulakukan hari ini. Karena bukan waktunya deadline menghadang, aku merasa tugas itu tidaklah sepenting pagi hari nan menyejukkan. Deadline tugas-tugas bak berada di ujung hari tanpa limit, limit tak hingga. Dan pagi hari seperti ini tidak mampu digantikan oleh apapun yang mahal-mahal di dunia. Pagi adalah kenikmatan yang tiada tara.             Dimulai dari membuka jendela, seakan dunia ini kembali membuka matanya setelah beberapa jam pulas dalam petualangan

awan putih

Tak kuasa aku beranjak Tak berkedip mataku memandang Tak peduli berapa lama waktu berlalu Habis akalku hanya demi memandangmu Awan, putih Andaikan engkau mampu kugenggam erat Banyak hal yang ingin aku bisikkan Jalanmu yang begitu pelan dimataku Buatku yakin sepenuh hati Untuk mengirimkan nada cinta yang terpendam Engkau terlalu lugu Putih, sederhana Namun badaimu menguras pikirku Menyapu apapun yang ada di hadapanmu Pun rasanya engkau bisu Kau tak pernah bercerita apa yang kau rasa Friday, 15 April 2016 | 1.45 pm

setahun yang lalu ...

Banyak sekali pelajaran yang aku petik di awal-awal bulan 2016. Ada sesuatu yang bereaksi, yang mau tidak mau menempa diriku secara perlahan. Banyak sekali perbedaan kejadian yang sesungguhnya tak boleh aku samakan dengan kejadian yang dulu. Kelas tiganya SMA jelas beda dong dengan kelas tiganya SMP. Tapi perbedaan itu sedikit sulit aku terima. Pada ujungnya, ketidakterimaanku ini membuatku menunjuk berbagai hal sebagai korban. Mereka menjadi pelampiasan kemarahanku, diriku semakin tak terkendali. Alih-alih berjuang demi kesuksesan itu dari hari ke hari semakin luntur, meluruh pelan. Aku pun tak kunjung sadar juga meskipun aku sadar dan cukup waras untuk melihat apa yang terjadi. Benar, belajar berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) tidaklah mudah. Tidak enak. Hampa. Sekalipun banyak orang ingin hidup sendiri, tak ada yang mengatur, tak ada yang memarahi, bebas. Tetapi tidak bagiku. Bagiku, hidup itu haruslah berteman, haruslah ada penopang ketika diri kita hampir tumbang,

menjelang uen

Hm, tak mungkin hanya aku yang merasa bahwa dunia kini kian sempit, waktu kian cepat berlalu, dan kehidupan akan berjalan seperti ini seterusnya, monoton. Kecuali ada seseorang, peristiwa, fenomena, yang membuat gebrakan-gebrakan yang membuat kami bangkit dari kenyamanan ini. Kita adalah manusia biasa, biasa mengikuti aturan-aturan tanpa tahu dasarnya. Kami biasa belajar menghafal tanpa tahu asal muasalnya. Kami biasa menggunakan rumus untuk memevahkan berbagai persoalan. Tak banyak dari kami yang peduli akan sebuah dasar. Kemudian kami menerima, pura-pura mafhum, dan lupa. Begitulah kesimpulanku dari hasil diskusi abal-abal bersama si shaffan dan laela, selasa 22 maret 2016 Beginilah alam bekerja pada poros waktu. Kami hanya berdiri, meminjam bumi, untuk sekadar bercanda, bersandiwara, dan belajar. Hayo, ini H-berapa teman? Ini tanggal 24, sedangkan proses pencetakan tulisan dibalik ijazah itu dimulai tanggal 4 april. Miris gak sih? Kata semangat bukan slogan kami, kami