tenang tapi tidak tenang


00.00

hari berganti


Dimensi waktu yang kita miliki adalah sesuatu yang bisa dikatakan ghaib. Apa kita bisa melihat waktu? Tidak, kan. Kita hanya bisa menyaksikan kehadiran waktu karena kita semakin menua. Coba lihat foto satu tahun yang lalu (lah) minimal. Beda, bukan?
Kita juga bisa meyakini kehadiran matahari yang senantiasa berjalan dari ufuk timur ke ufuk barat. Suasana bumi yang tadinya gelap lama-lama menjadi terang, begitu pun saat senja tiba, langit yang cerah tergantikan oleh semburat jingga di ufuk barat.

Seandainya setiap hari kita merasa takut, itu hal yang wajar. Mengapa? Iya, karena takut kepada RabbNya, dikasih nikmat hidup, menghirup napas, bergerak, daaaan banyak hal lainnya yang gampang sekali disebutkan. Shearusnya kita selalu cemas, cemas menghadapi hari ini, bukan tentang hari kemarin atau hari esok. Cemas, kalau-kalau hari ini saya tetiba mati? Lalu amal apa yang sudah saya kerjakan? Sudah siapkah saya menghadapi alam setelah alam dunia?  hiii ngeri sekali. Yang paling mencemaskan juga adalah hari pertanggungjawaban. Hari di mana semuuuaaaa apa yang sudah dilakukan dilalui di dunia ditanyakan. Eh, pernah LPJ-an organisasi gitu nggak sih? Ibaratnya LPJ-an itu. Saaat kamu maju ke depan dan mempresentasikan hasil kerjamu dalam satu kepengurusan. Lalu, kamu ditanyai oleh kawan-kawanmu perihal LPJ mu. Semisal ada proker (program kerja) yang miss atau tidak terlaksana biasanya ada konsekuensinya, seperti pemotongan dana di kepengurusan selanjutnya. Tapi mungkin ini contoh yang terlalu sederhana.

Setiap hari kita dikaruniai rasa tenang. Tidak perlu cemas. Tenang menghadapi apapun. Ini bagus sih.. jadi pribadi yang tenang. Tapi apa jadinya kalau kita tenang-tenang saja lantaran merasa tidak melakukan dosa padahal melakukan, datang terlambat padahal tadi janji bisa datang on time, datang kuliah terlambat sedangkan dosen sudah memulai berceramah bersama pointernya, berpikir kalau usia masih panjang dan waktu akan ada, bersantai-santai sambil melakukan amalan nirfaedah padahal bisa jadi kain kafan sedang ditenun.... daaaan banyak lagi.

Selama hidup di dunia kampus, saya baru paham apa itu idealis dan realistis. Kita tahu hal-hal ideal tetapi kadang idealisme harus berbentuaran dengan realita. Hal ini tidak bisa kita pungkiri. Salah satu faktor yang punya peran besar di sini yaitu akal dan nurani. Kok bisa? ya seringkali kecerdasan kita terkalahkan oleh perasaan yang mendalam. Atau perasaan kita luluh oleh kecerdasan. Keduanya selalu berkontemplasi.

Hah? ngomong apa sih? hmm lanjut kapan-kapan dah insyaAllah

ceritanya lagi self-war. ceilah sama diri sendiri aja berantem gimana hubungan sama orang lain?
Saat berangkat ke kampus adalah kewajiban sekaligus amanah yang harus ditunaikan, di sisi yang lain ada tugas yang harus diselesaikan segera yang sama-sama menyangkut amanah di mana kalau tidak dikerjakan sama saja kamu berhasil mendzalimi orang lain. ribet amat sih ya hidup ini, kadang. 
gini sih, kan ada jadwal seminar pra proposal kelompok lain, ada presensinya. seperti yang kita tahu kalau setiap mahasiswa pasti punya jatah mbolos, karena jumlah minimal kehadiran adalah 75% maka pinter-pinternya kita ngitung jumlah bolos. agar sewaktu ujian, kita bisa tetap ikut meski sempat nakal. bukankah kalau berdasar idealisme, kita harus menghargai siapapun orang yang berbicara di depan? kalau kita mau dihargai ya belajarlah menghargai orang lain, begitu agaknya. berasa percumah nggak sih, udah bangun pagi-pagi, mandi, makan, naik motor atau jalan ke kampus, tapi di bangku kuliah kamu cuma main hape, ngerjain yang lain, scroll feed ig, touch-touch status orang di WA, atau belajar buat ujian pekan depan? ironi emang, ironi!
kalau mau lihat bobroknya negara ini ya lihatlah diri sendiri. yang masih begini-begini saja. katanya pengen negaranya maju? seneng negaranya merdeka? tapi pikiran-pikiran kita tdiak merdeka?
selalu tertampar rasanya kalau ada orang bilang... emang kamu sesibuk apa siiiih? sampai gitu aja gak bisa, kerjaan gak selesai. emang kamu siapa siiih? presiden? coba dah tengok dosen-dosenmu. setiap hari dihadapkan denagn banyak agenda, urusan , dan kerjaan. tapi beliau-beliau bisa tu selesai dan rapi dengan semuanya. ya tapi kita jangan menomosatukan kenormatifan yang ada, ya iyalah beliau kan udah sepuh udah banyak pengalaman. ya bayangin aja gitu kalau beliau harus ngurus anak, suami, karier, anak mahasiswanya, daaan banyak lagi. pusing gak sih? lha ini, masih latihan ngurus diri sendir, gak lulus-lulus. parah.. :( dalam rangka marahin diri sendiri

bicara membangun negeri..
bukan perkara kamu cita-citanya apa? mau jadi presiden? mau jadi TNI? mau jadi polisi? baru bangun negeri? yaa keburu pulau Indonesia habis dong.
saya anak Indonesia, lahir di tanah Indonesia, saya bagian dari Indonesia, saya harus membangun diri jadi lebih baik soalnya kalau bangun negeri kejauhan.


hyaah .. nulis beginian lebih seru dan jadi sarana refreshing saat semua terasa mess
(sok)tenang tapi tidak tenang

RK 3.2
Jogja, 15 Maret 2019

Comments

Popular posts from this blog

Apa itu Vaginismus? Bagaimana islam memandang?

Celengan rindu

Review Film Jakarta Unfair dan opini mengenai permasalahan kemanusiaan di Indonesia