perlu bangkit (2)

hanya perlu bangkit

dua ribu enam belas, ternyata sudah terlewat. Isi blog saya tidak jauh-jauh dan hanya berputar-putar soal semangat dan menyemangati. Padahal, siapa tahu toh dalamnya justru berbalik fakta? Atau mungkin saya yang berusaha sok-sokan menyemangati, biar semua orang tahu bahwa saya begitu semangat? Jahat sekali.

 Seharusnya rasa syukur itu termaktub dalam setiap langkah. Segala ikhtiar dan doa-doa yang saya panjatkan selalu itu telah membuahkan hasil. Kisah inspiratif hingga membuat saya berani bermimpi harusnya juga bisa memberikan hasil nyata pada hari ini. Harusnya.
  Saya belum akan berbicara pada berapa banyak orang yang berhasil saya kecewakan. Mereka tidak mengharapkan banyak hal dan tidak berpikir kalau ada kemungkinan dikecewakan. Mungkin hanya saya yang berucap ingin membahagiakan dan tidak mengecewakan mereka. Berucap.
Hanya dua hal itu (dibold) yang disalahkan kalau mau menyalahkan saat ini. Percumah saja kalau mau menyalahkan, sudah saya awali, dua ribu enam belas sudah berlalu. Lantas, mengapa saya capek-capek dan membuang waktu untuk terus menulis? Yang jelas saya terinspirasi untuk menyisakan kata "bangkit" saja dari postingan yang berjudul "hanya perlu bangkit". Meskipun tidak ada rencana pada saat saya menulis itu untuk melanjutkan dengan menulis postingan bertajuk sama.
  Kalau diibaratkan, bulan-bulan akhir 2016 saya berada di dasar atau di kaki gunung. TAdinya, saya sudah sampai (mungkin) di puncak, tapi entah ada angin atau hujan apa sehingga saya berada di dasar. Puncak itu hanya bayangan yang menari-nari di depan mata. Sesekali dia menertawakan saya, begitu juga saya rasanya ingin melempari dia dengan batu-batu sungai.
Awal kuliah, rasa senang dan bahagia menyelimuti siapa saja. Bangga bisa menjadi salah satu dari ribuan mahasiswa yang notabenenya pintar-pintar. Tanda-tanda akan berada dalam posisi rendah itu mulai nampak. Tugas yang ringan saya kira berat dan seolah tidak ada semangat menelurkannya. Kerjaan saya hanya crita sama mbak dan minta tolong pada orang yang saya anggap baik. Bisa jadi juga ini merupakan sisa dari perjuangan yang telah membuahkan hasil ini, di mana sebelumnya saya sudah menjadi orang yang lemah dalam segala hal. Pada akhirnya hal itu berdampak pada prestasi yang seharusnya membanggakan selayaknya bebrapa tahun lalu sempat saya capai. kemudian saya menerima kalau hal itu (kelemahan) terjadi pada saya, saya pun merasa biasa-biasa saja, tidak cenmas, takut, dan khawatir. Saya menjadi orang yang biasa-biasa saja banget. Ketika saya gagal melakukan sesuatu yang harusnya saya bisa melakukan yang terbaik, saya biasa saja. Mengatakan kenyataan  yang terjadi pada mbak, diberi nasehat, dan saya sebatas mengiyakan.
Rasa syukur itu tak lekas melekat pada diri saya. Justru membuat saya terus melemah dan larut dalam kelelahan yang tak teratasi. Ruhiyah yang lemah, psikis tidak karuan, mental ciut, ditambah lagi badan yang kian surut. Diri ini lepas kendali, saya akui. Saya sudah mendapatkan yang saya mau, tapi di sisi lain mungkin ada diri saya yang belum siap dan mengingkari. Lalu, hari demi hari berlalu. Rutinitas harian hanya sampai di catatan, tak ada realisasi. Menyemangati orang, tapi saya sendiri berbohong dengan diri sendiri. Permasalahan semakin banyak, bertumpuk-tumpuk, dan timbul menimbun pikiran saya. sampai pada titik berulang kali saya menagtakan pada mbak, bahwa saya tidak kuat, putus asa dengan semua ini. Kantuk yang selalu menjadi momok tiap akan melangkahkan kaki mencari ilmu. Saya bilang phobia dengan model pembelajaran seperti itu. Rapat di mana-mana yang datang cuma raga, jiwanya pergi entah kemana. Wawancara ya sebatas kata di mulut, dipikirkan sedapatnya, hatinya lari tiada yang tahu. Beribadah ya sealyaknya saja, tiada makna yang menancap. Nafsu tak jelas terus bergejolak dan tak mampu membendung, akhirnya dituruti. Kalau hasilnya gagal, mengeluh, mengadu tanpa ragu. Meminta fatwa sana-sini tapi tidak ada yang mengerti dan mengisi hati. Lelah. Rutinitas yang terus memaksa diri, tapi raga dan jiwa belum siap mengahdapi. Kata orang, lagi adaptasi mungkin. Berusaha duduk di majelis ilmu, berharap agar ruhiyahnya menyala, yah yang terjadi malah menyalahkan majelis yang tak tahu apa-apa. Berbagai agenda semakin hari melilit saluran napas saya. Saya semakin kalap dan kehabisan waktu. Ditertawakan sama semua tapi saya tidak terganggu dan tidak merasa hina. Diri.. ada apa denganmu? Hanya kata-kata itu yang melintas ketika saya terdiam, sementara waktu tetap berjalan, berlalu.. Seakan ada yang membisikkan kata agar menuruti nafsu saja. Ada apa dengan diri saya? Qiyam dan tilawah tidak ada efeknya, tetap disitu saja. Tak ada gerakan, hanya terdiam seolah tanpa dosa.
 

Comments

Popular posts from this blog

Celengan rindu

Apa itu Vaginismus? Bagaimana islam memandang?

Review Film Jakarta Unfair dan opini mengenai permasalahan kemanusiaan di Indonesia