hanya perlu bangkit



Saya tidak menyangka, saya akan sampai pada titik ini. Tak habis pikir, bila waktu yang selama ini berjalan hasilnya hanyalah seperti ini. Lantas, kemana sajakah saya selama ini?
Diriku, jiwaku, ragaku, bahkan hatiku.. melayang entah kemana. Saya merasa kehilangan sebenar-benar diri ini ingin menjadi. Ibarat naik gunung, saya adalah seseorang yang dihantam banjir dari puncak yang membuat saya jatuhtersungkur, kalap, tak mampu menghirup udara. Ibarat pohon, saya tumbang diterjang angin besar. Tubuh ini terkapar tidak karuan wujudnya. Semua itu berhasil menyelimuti diri saya dalam kekalutan yang seolah tiada berakhir.
Seiring berjalannya waktu, saya meraba-raba. Dengan mata hati yang buta, berharap menemukan setitik sinar yang mampu menerangi dan menghidupkan jiwa yang mati ini.
Tapi... apakah ini sebuah bahkan berbuah-buah “kegagalan?”
Gagal merencanakan, berarti merencanakan untuk gagal?
Ah... biarlah tulisan random beserta pikiran yang semrawut mewarnai blog ini.
Ya, sebenarnya, jauh-jauh hari saya telah memiliki perencanaan. Tentang apa saja yang ingin saya bidik. Namun, tampaknya semua itu terkoyak oleh sang waktu, melemah ketika kekuatan-kekuatan luar datang menghampiri. Mungkin, saya lupa merencanakan “menghadapi badai tantangan”. Sehingga, hasilnya seperti ini. Dan mungkin bukan hanya itu.. ada yang lain. Ialah ketegasan. Iya, tidak lain dan tidak bukan adalah tentang ketegasan. Ketegasan terhadap lemahnya diri. Ketika saya paham, zaman SMA dahulu diri saya runtuh oleh perang berkecamuk. Apalagi, diri yang kurang bersemangat ini menjalani hari-hari. Otak saya terasa hanya dilingkupi ketidak setujuan, inginnya, harusnya, begini dan begitu. Terlalu banyak menuntut yang tak bisa saya ungkapkan. Terlalu memegang ideologi yang sesungguhnya bukan hal yang baik untuk dipertahankan. Stigma dan prasangka negatif kian hari kian melingkupi. Tak hanya itu, raga yang lemah pun ikut campur dalam urusan ini. Mental juga tak ingin ketinggalan mengikuti arus kejahiliyahan.. Allahummaghfirli..
Yang jelas, saya kehilangan sosok nonny.
Yang selalu berusaha rajin dalam segala hal. Yang tidak takluk oleh hawa nafsu. Yang kurus sebab tak mau meninggalkan senin kamis. Yang siap mental ketika saatnya unjuk gigi. Yang segera menuju sajadah. Yang suka membuat-buat dan menekuni yang disuka. Yang tak menyerah ketika nilai yang didapat tak sesuai. Yang tak pernah lelah berdoa demi mendapatkan sesuatu yang didamba. Yang teratur tidurnya. Yang mampu menyimpan rapat-rapat hal duka. Yang setia menulis kan kisah dunia dalam aksara. Yang tak terlena oleh kesenangan-kesenangan kecil. Yang menikmati segala hal dalam senyuman. Yang hemat uang dan waktu. Yang tidak terbuai oleh dunia maya. Yang berurai air mata ketika diri luput dari rutinitas untuk-Nya..
Hmm.. saya tengah berbohong ternyata. Tetapi, kebohongan itu –saya yakin- tidaklah ada. Karena sejujurnya, sedalam-dalamnya, kita bisa menjadi apa yang diri kita ingin bisa.
Sekuat tangan ini menulis hingga muncullah sekian ratus huruf di postingan ini
Sekuat itu pula, semesta akan mendukung J
Menjadi nasehat diri.. ketika aku mendapatkan yang terbaik, mengapa aku tak menjadi yang terbaik?

Comments

Popular posts from this blog

Apa itu Vaginismus? Bagaimana islam memandang?

Celengan rindu

Review Film Jakarta Unfair dan opini mengenai permasalahan kemanusiaan di Indonesia