Memilih pergi
Sesak di dada mulai tak tertahankan
Aku pun bertanya, mengapa di dunia yang amat luas ini aku merasa sesak?
Pelan.. Tapi pasti
Tangisku yang menderai setiap hari
Mulai lelah meneteskan air dari sumbernya, mata
Buat apa kelopak mata mencembung
Jika hanya ingin menghempaskan seluruh rasa di dada
Meluapkan segala pikir yang tak terbendung
Pagi, siang, sore, malam
Aku di pembaringan
Memeluk seorang makhluk berbentuk tapi mati
Mendekapnya erat, menjadi pemeluk palsuku
Gemetar tubuh ini kala tak sanggup menahan beban
Beban yang riuh berdesakan di kepala
Berharap ada seorang saja yang datang di hadapanku, lalu hanya mematung tersenyum
Ia membiarkan aku berdialog dengan senyumnya
Ah, ini semua hanya bualan belaka
Lalu, suatu hari aku menemukan
Kebahagiaan
Lambat..
Aku mulai menikmati cara Allah menyayangiku
Sampai suatu hari pula aku menemukan
Allah membuatku terbelalak tersebab caranya menyayangiku ternyata terasa perih sekali
Jam demi jam
Hari demi hari
Minggu demi minggu
Hingga bulan demi bulan
Dan sampailah bulan Ramadhan
Penemuan baru, air mataku termasuk sumber daya yang dapat diperbarui
Gak ada habisnya
Ada ribuan cerita dari setiap tetesnya
Namun, aku membiarkan tetes demi tetes berlalu bersama waktu
Aku tak peduli lagi
Setiap ada sentilan, ia selayaknya atap yang bocor
Mengalir tanpa disuruh, dan tak mau berhenti tanpa disuruh
Sekarang..
Iya, sekarang..
Air mataku memilih pergi
Pergi dari segala hiruk pikuk dunia
Ia enggan menemani piluku lagi
Mungkin ia ingin mendewasa
Tak seperti anak kecil, haus saja menangis agar ibu menuruti permintaan hausnya.
Pergi ke mana kamu hei?
Ia berpaling, mengabaikan tanyaku
Ia merangkak
Menuju tanah
Mungkin ia malu
Karena terlalu banyak dipamerkan
Pada yang bukan seharusnya
Mungkin ia manja
Ingin keluar, selalu saja minta dituruti
Tak mau sabar sedikit tuk menahan
Aku pun bertanya, mengapa di dunia yang amat luas ini aku merasa sesak?
Pelan.. Tapi pasti
Tangisku yang menderai setiap hari
Mulai lelah meneteskan air dari sumbernya, mata
Buat apa kelopak mata mencembung
Jika hanya ingin menghempaskan seluruh rasa di dada
Meluapkan segala pikir yang tak terbendung
Pagi, siang, sore, malam
Aku di pembaringan
Memeluk seorang makhluk berbentuk tapi mati
Mendekapnya erat, menjadi pemeluk palsuku
Gemetar tubuh ini kala tak sanggup menahan beban
Beban yang riuh berdesakan di kepala
Berharap ada seorang saja yang datang di hadapanku, lalu hanya mematung tersenyum
Ia membiarkan aku berdialog dengan senyumnya
Ah, ini semua hanya bualan belaka
Lalu, suatu hari aku menemukan
Kebahagiaan
Lambat..
Aku mulai menikmati cara Allah menyayangiku
Sampai suatu hari pula aku menemukan
Allah membuatku terbelalak tersebab caranya menyayangiku ternyata terasa perih sekali
Jam demi jam
Hari demi hari
Minggu demi minggu
Hingga bulan demi bulan
Dan sampailah bulan Ramadhan
Penemuan baru, air mataku termasuk sumber daya yang dapat diperbarui
Gak ada habisnya
Ada ribuan cerita dari setiap tetesnya
Namun, aku membiarkan tetes demi tetes berlalu bersama waktu
Aku tak peduli lagi
Setiap ada sentilan, ia selayaknya atap yang bocor
Mengalir tanpa disuruh, dan tak mau berhenti tanpa disuruh
Sekarang..
Iya, sekarang..
Air mataku memilih pergi
Pergi dari segala hiruk pikuk dunia
Ia enggan menemani piluku lagi
Mungkin ia ingin mendewasa
Tak seperti anak kecil, haus saja menangis agar ibu menuruti permintaan hausnya.
Pergi ke mana kamu hei?
Ia berpaling, mengabaikan tanyaku
Ia merangkak
Menuju tanah
Mungkin ia malu
Karena terlalu banyak dipamerkan
Pada yang bukan seharusnya
Mungkin ia manja
Ingin keluar, selalu saja minta dituruti
Tak mau sabar sedikit tuk menahan
Comments