Trip to Piyungan

tak ada angin tak ada hujan. Telinga kam mulai terbiasa mendengar kabar kelas mendadak!
yah itulah yang harus dibiasakan bagi santri DS. Sebenarnya H-1 tidak tergolong mendadak sih, tapi lumayan juga bagi yang sudah beragenda, mau tidak mau izin. Sayang, kan? :)

Kabar kalau esok pagi kita akan pergi sudah di kabari pada kelas malam. Saya lupa malam itu malam ke berapa Ramadhan, tepatnya pada tanggal 19 Mei 2019. besok pagi harus sudah siap pergi.

Pagi pun tiba, dan kelas pagi kami temui lagi. Kakak Pemandu sedikit memberi arahan tentang kepergian kita kali ini. Keberangkatan didasarkan pada kelompok keluarga. Ah apa itu kelompok keluarga? nanti saja ya saya tak bikin postingan tentang itu. sekarang, terima dulu aja. Misal, kelompok 1 dan 2 ke rumah singgah, kel 3 dan 4 ke mana, dan kel 5-8 kemana. nah saya termasuk di kelompok 7. Namanya keluarga Dapur Shalihat. haha, aneh bukan? oke kapan-kapan tagih aja suruh saya cerita.

Kelas malam dan kelas pagi tidak memberi tahu tentang costum yang seharusnya dipakai. Walhasil saat mau berangkat Ummi sempat berkomentar tentang pakaian yang kami kenakan. karena kami tidak tahu menahu, jadinya, ada yang memakai rok kondangan. Aih, mau ganti juga ndak sempet lagi. Soalnya, jam 8 harus sudah sampai di sana :)

kelompok saya, 7, berangkat duluan karena rombongan ini akan menuju ke Bantul, lebih tepatnya di Piyungan. serombongan itu hanya satu yang pernah ke daerah situ. jadilah gmaps sangat menjadi andalan kami.

singkat cerita, saat memasuki gang perkampungan TPST, kami disambut oleh harum-harum khas sampah. di tepian jalan pun sampah plastik nampak berserakan.

Bismillah bercerita yang manfaat tentang jalan-jalan ke TPST Piyungan

Sampai di sana, kami berkumpul terlebih dahulu bersama teman2 dan dibersamai oleh Ammah Pemandu. Kegiatan kali ini kami diberi kebebasan mau kemana pun pergi di area tpst. Mau tanya-tanya dengan warga juga boleh, kepo apapun yang ingin kita tahu dnegan tetap menerapkan unggah-ungguhnya. Ada sekitar 3 kelompok yang berpencar. Kelompok saya memilih menyusuri di area dalam  yang penuh sampah. Bau tak sedap ditambah angin yang berhembus membawa debu-bdebu yang betrbangan tak menyurutkan langkah kami. Aih, kadang malu juga dengan diri kita yang terbiasa hidup enak. Ke tempat begini pakai masker.. malu dnegan warga yang tanpa pelindung apapun.
Antara miris dan hmm bagaimana. Belasan sapi terlihat sedang mencari makan di gunungan sampah. Entah yang terpikirkan tentang nasib hewan itu jika nantinya dimakan oleh kita. Kondisi di sana, truk dan pick up berlalu lalang masuk dan keluar. begitupun para pengendara motor yang membawa wadah diboncengnya. Akivitas warga di sini seperti sudah terbiasa terjadi dan memang begitu adanya. Panas terilk tidak menyurutkan smenagat warga mengais sampah-sampah yangmasih bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Mobil keruk turut beraktivita di sana, mengeruk sampah agar tak tertimbun.
Rasa penasaran membuat kami tergerak untuk menanyai salah dua orang warga. Dari penjelasan warga tersebut, kami mendapatkan insight baru. TPST Piyungan adalah tempat pembuangan sampah terakhir dan terpadu terbesar di jogja. Semua sampah di provinsi istimwa ini bermuara ke piyungan. Jadi tidak heran kalau gunungan sampah ini luasnya sudah mencapai puluhan hektar. Kabarnya, TPS ini akan terus diperluas karena sudah tidak cukup memuat sampah yang setiap hari dipasok. Ohya, keadaan demografis di sana berupa bukit-bukit. Sebenarnya pemandangan di daerah ini cukup indah dan sejuk tapi semua itu tergantikan oleh bukit sampah dan harumnya. Yap, TPS Piyungan sudah menajdi semacam sumber penghidupan warga di sini. TPS ini berdiri ada sejak tahun 1990an atas kebijakan pemerintah. Sejak itu pula warga mulai berdatangan bahkan dari luar daerah jogja pun mengais rezeki di sini. Ketika ditanya, tidakkah dalam benak bapak atau ibu ada keinginan untuk beralih profesi yang lebih baik dan menjanjikan? Ternyata jawabannya, mereka tidak mau. Mereka merasa sudah nyaman dengan rutinitas ini. Kalaupun TPS ditutup mereka juga tidak mau karena hal itu berarti menutup keran rezeki mereka. Ada juga yang satu keluarga sumber penghidupannya dari sampah ini dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Memang, suatu hal yang mustahil bila ingin memusnahkan sleuruh sampah yang sudah mirip sekali dnegan gunung itu. Tapi, dalam hati kita pasti pengen kan sampah sebanyak itu bisa musnah? Kenapa nggak ditutup aja? Kenapa nggak dibakar saja? Hmm..
Warga yang mencari rezeki lewat sampah, biasanya mencari botol-botol, plastik, kertas, kardus, yang masih bisa layak dijual ke pengepul. Mereka memulai harinya dari pagi hingga sore hari. Barang yang dihasilkan lalu dijual ke pengepul dna biasanya menghasilkan sekitar 50 ribu rupiah. Saat terik siang hari menyengat, warga biasa ebristirahat di gubuk-gubuk yang dibangun di atas sampah. Sekatnya pun juga dari sampah.. ah, tapi mereka begitu merasakan nikmatnya beristirahat.

Kami menangkap sorot mata mereka yang mengharapkan penghidupan yang layak, namun mereka pun juga sudah sangat bersyukur dengan ladang rezeki di sana. Meskipun setiap hari bersentuhan dengan sampah, lalat yang kesana kemari, kotor, debu, dan bau yang seperti gas metana itu mereka tak pernah jatuh sakit karena sampah. Tubuh mereka seakan sudah terbiasa dengan kondisi. Mungkin kita pikir mereka akan sering sakit demam, diare, atau infeksi.. ternyata tidak teman.

Comments

Popular posts from this blog

Apa itu Vaginismus? Bagaimana islam memandang?

Celengan rindu

Review Film Jakarta Unfair dan opini mengenai permasalahan kemanusiaan di Indonesia