Damai dg Psyche background

Tercekat.

Ah iya, suka tercekat dengan adegan-adegan slide di tembok putih itu. 

Kian hari kian tertampar. Sakit sih, tapi tamparan2 itu elan pelan masuk ke dalam relung hatiku. Bahwa apapin yang terjadi pasti atas kehendakNya.

Semakin paham.. Kenapa aku yang gabisa ngerjain soal SBMPTN tahun 2016 ini bisa bisanya masuk ke fakultas idaman banyak orang. Abaikanlah jurusan apa, meski tak seprestige sebelah.

Tentang psikis. 
Semester ini banyak membicarakan soal kejiwaan manusia. Sering diajar dosen keperawatan jiwa dan dari kedokteran jiwa. Menarik? Tentu. 

Tiap kali berjalan atau bersepeda, aku kadang berpikir tentang kuliah.. 
Psikis.. 
Ternyata masalah psikis itu bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata. Mungkin bagi kita yang tak pernah merasakan hal itu bisa saja berujar "ah gitu doang.." "lemah banget sih. ." "yaelah masalah gitu doang dipikirin" dan lainnya. 

Okey, hal yang wajar kayak gitu. Tapi coba deh, ada sekian banyak kasus di indonesia seperti bunuh diri dengan segala caranya, gila, berpenyakit jiwa, hidup menderita, dll.  Hanya karena apa? Masalah psikis. 

Jujur, saat tutorial membahas kekerasan seksual pada anak tadi pagi, saya sempat tersentil ketika salah seorang teman menjawab pertanyaan step 2 "apakah kepribadian mempengaruhi risiko bunuh diri?". Dalam hati saya mengangguk. Karena jawaban teman saya, iya kepribadian melankolis atau mereka yang irritable (mudah tersinggung, misal ada tmeen disapa ee malah nyuekin,  dia akan merasa teman lagi sebel sama dia) , suka negative thinking, sensitif, dll

Kenapa saya mengangguk? 
Bisa dibilang saya pernah merasakan itu. Rasa rasa seperti ini baru mulai saya sadari saat saya kuliah di keperawatan bab jiwa. Baru beberapa hari yang lalu, sebuah stresor membuat ingatan bangkit lagi. Saya merasa tidak berharga,  menyalahkan diri sendiri, merasa bodoh sekali, rasanya orang tidak ada yang memghargai dan melihat usaha saya, benci mengapa saya dilahirkan dg pengalaman masa lalu semenyedihkan itu,  kenapa nggak kayak teman2??? Dari situ pikiran mengakhiri hidup dipikir jadi solusi yang tepat. Mungkin lebih baik orang tak melihat saya saja. 

Tapi kan kamu tinggal di pondok gitu? Masak masih sempetnya punya pikiran gitu? 

He.. 
Bahkan seringkali saya mengalami hal itu habis belajar ilmu, habis kelas, habis diisi ruhiyahnya.. Siapa sangka?

Hidup emang tentang pilihan.. Iya saya tahu idealnya hrus bagaimana dalam menyikapi.
Saya juga nggak tahu kenapa dan kok bisa gini? 

Sejauh ini saya terus berusaha bersyukur. .Healing diri sendiri..  Apalagi materi di kampus dan di pondok yang semakin membuat sadar tentang jawaban atas permasalahan psikis saya. Well, bukan hal mudah untuk menginternalisasikan semua yang didapat. Perlu proses yang terus ditumbuk dengan pemahaman baru, bantuan orang dengan cerita,  dan tentunya dekey2 sama Allah. 

Banyak. Orang sakit jiwa hanya karena dia tidak punya sumber koping yang baik. Akhirnya dia berlarut dalam masalahnya. 

Tak jarang, dari psikis itu menjalar ke tubuh rasanya. It's called as somatisasi. Mungkin next post entah kapam bahas ini bisa.. 

Comments

Popular posts from this blog

Celengan rindu

Apa itu Vaginismus? Bagaimana islam memandang?

Review Film Jakarta Unfair dan opini mengenai permasalahan kemanusiaan di Indonesia