UAS pun Berakhir
"wujud waktu adalah pergantian siang dan malam"
pertukaran waktu yang teratur dan nggak pernah macet merupakan pertanda dari Allah Subhanahuwata'ala bahwa segala sesuatu di dunia bersifat sementara atau nggak abadi
Siang hari ini ... rasanya udara
panas menyejukkan jiwa. Radiasi dari sang surya pun tak terasa bila ternyata ia
membelai pipiku. Sejak tadi pagi, kami telah menggadang-gadang akan datangnya
siang ini. Siang nan segar. Bak berjalan di antara permadani hijau,
merentangkan tangan di tengah alunan angin yang berhembus, dilengkapi dengan
embun-embun yang berjajar rapi di balik dedaunan.
***
Tepat di Hari Sabtu di penghujung Mei
lalu, menjadi hari terakhir di kebersamaan kelas kami. Alhamdulillah, kami telah melalui 4 semester bersama-sama.
Perjuangan kami terlihat tinggal hitungan bulan. Kaki-kaki kami menginjakkan
tanah sekolah tinggallah beberapa bulan. Sedih, haru, senang, dan sungguh tak
dapat terlukiskan bagaimana suasana hati kami menyongsong hari demi hari nanti.
Semester empat ini menjadi semester yang sedikit banyak mengguncang hati dan
pikiran kami. Sebelumnya kami juga telah diwanti-wanti
bapak ibu guru di semester ini. Kata mereka, grafik harus naik! Entah, hanya
kata-kata sakral itulah yang menjadi pembangkit kaki-kaki kami untuk melangkah
kala dirundung lelah. Tapi toh tidak semuanya meresapi kata-kata ajaib itu.
Termasuk aku.
Apapun hampir telah kami alami
sebagai pelajar SMA kelas sebelas. Belajar dan belajar, ketemu gerbang sekolah
lagi dan lagi, mengisi celengan di kantin-kantin dan pengangkut gerobak di
sepeda motornya, menempelkan ujung jari tangan kanan di ujung topi abu-abu kami
tiap Hari Senin, bersih-bersih setiap mengenakan baju batik gajah warna biru
sampai jam delapan, merindukan Hari Sabtu di setiap minggu-minggu ulangan,
belajar serius 5 menit sebelum ulangan dilaksanakan, menyambut ekspresi wajah
dari setiap teman waktu dipanggil ke depan buat menerima hasil ulangan, ditagih
laporan praktikum sebagai anak MIA yang berwibawa, menyibukkkan mulut dengan komat-kamit
untuk menghafal rumus, merayu-rayu bapak ataupun ibu guru yang hendak
mengadakan ulangan harian agar diundur saja, ber-toa karena kebanyakan
materinya, serius untuk guru yang serius, bercanda dan memancing guru yang suka
mendongeng, bercita-cita di dada agar jamnya kosong saja, menunggu berita agar
kosong, pulang gasek, berdoa agar gurunya telat masuk kelas, menebar tawa di
wajah-wajah tak niat sekolah, bertingkah polah tak karuan, main game pas
pelajaran, berngantuk-ngantuk ria saat guru berceramah, mbolos ..... aaah
rasanya tak sanggup aku menuliskan abjad-abjad catatan harian sekolah kami di
kelas pertengahan ini.
Mungkin tak hanya aku yang merasakan
ketakutan akan UAS semester 4 ini. Sebagai orang asli Indonesia, aku takut
nilaiku jelek. Begitu pula dengan teman-temanku. Berbagai daya dan upaya kami
tempuh untuk meraih nilai yang sesuai keinginnan kami. Salah satu caranya yaitu
mencari kisi-kisi dari pelajaran yang akan menjadi bahan tes di minggu esok.
Sudah bukan hal yang asing lagi soal mencari kisi-kisi ini. Bagi kami,
setidaknya atau minimallah kami tahu materinya dan tidak perlu belajar
banyak-banyak. Biasanya kami mendapat kisi-kisi yang merupakan bahan detail
selain bab yang sebenarnya sudah kami ketahui di H-1 tes. And it’s ok wae.
Di pagi hari dalam suasana ulangan
akhir semester, kami itu seperti pedagang di pasar tradisional. Bukan
menjajakan sesuatu agar dibeli. Tapi, kami rajin-serajin rajinnya, inget
seinget-ingetnya, menyanyakan materi yang dirasa kurang jelas kepada teman yang
kami anggap lebih menguasai. Kami biasa membentuk suatu koloni satu kelas untuk
belajar bersama di depan kelas yang akan menjadi ruang tes dari kami. Jadilah
kami pasar sekolah jadi-jadian, beradu suara menghafal materi, ada yang sibuk
sendiri dengan urusannya, ada yang berdiri tak menatap apapun, ada yang bersantai
sambil tertawa ria entah apa yang ia rasa, melempar-lempar buku karena gak bawa
buku maupun gak punya catatan, hmm begitulah. Jantungku senantiasa berdegup
seperti degup menjelang ulangan, dan detak itu mencapai puncaknya saat bel
tanda masuk ke ruang tes telah berbunyi. Tapi sebenarnya itu bel utnuk pengawas
kali, karena pada saat itulah pengawas beranjak dari ruang pengambilan berkas
yang biasa kami lihat dari kejauhan. Kami tampak semakin kemprungsung sambil kedua boal mata berjalan ke kanan dan kiri mengawasi sekeliling, apakah
langkah tegak dengan senyum sumringah yang memancar dari sudut wajah bapak ibu
guru itu telah datang membawa soal UAS.
Satu per satu kilo beban sepuluh ton
di pundak kami terasa lepas saat kami keluar dari kelas panas. Apalagi bila
kami sanggup menegrjakannya dalam waktu kurnag dari waktu yang telah disediakan
panitia. Bertumpuk-tumpuk materi serasa luruh tak diperintah. Disitu guratan
cemas di wajah kami mulai luntur.
***
Seminggu lebih ebberapa hari, UAS telah
kami lalui. Di setiap hari, doa kami tidak lain ialah agar UAS segera berakhir.
Namun, niscayalah waktu terus berjalan,
semua pasti akan berlalu. Kami sesak menghirup udara debu dari buku-buku
berkutu. Mengolahragakan otak dengan berkutat bersama berbagai macam soal.
Begitu seterusnya. Nah, di hari terakhir tes inilah, udara sesak yang kami
hirup menyesaki dada dan paru-paru, kini telah sampai di tenggorokan untuk
dikembalikan lagi ke atmosfir. Perlahan kami melepas udara biru dengan jalan
yang berbeda-beda. Muluslah ketika kami mendapati nilai UAS yang sesuai
harapan. Pun kami sering tersedak-sedak tak tahan menahan timbunan nilai yang
menyesakkan saluran. Seakan-akan ia tak berbanding lurus dengan ketika kami
menghirup napas sebelumnya. Individu pasti memiliki kesan dan rasa kepada
butiran ujian sebagai pelajar di es-em-a.
Comments