Film Jakarta Unfair merupakan film tentang permasalahan kemanusiaan yang begitu menyentuh nurani. Film ini diawali dengan ekspresi anak-anak laki-laki yang dengan polosnya berbincang dengan wartawan. Keceriaan anak-anak itu menggambarkan bagaimana kebahagiaan mereka di kampungnya. Film yang tak diizinkan tayang tersebut menyajikan kekontrasan keadaan di Ibukota Indonesia. Jakarta, seperti yang kita tahu, kota yang paling tersohor kemacetannya yang sangat padat, lalu-lalang kesibukan orang mencari nafkah, suasana mall megah dengan segala kenikmatannya, dan jika dilihat dari langit Jakarta terlihat sebagai ibukota yang hanya berisi gedung-gedung pencakar langit, perumahan tanpa sekat pepohonan, juga jalan raya yang dipenuhi kepadatan kendaraan. Penggusuran, adalah satu hal yang kasusnya seakan tak pernah habis terjadi di ibukota. Rakyat menangis pilu, menjerit, bahkan pingsan, sebab tidak sanggup menyaksikan tempat tinggalnya digusur oleh pemerintah. Proses penggusuran juga tak ter...
pernah ga sih merasa maleeeessss bgt. mau ngapa-ngapain rasanya berat bgt. tau kah kalau sikap bermalas-malasan ini bisa menjadi karakter kita? misal, malas bekerja atau mengerjakan sesuatu, maka kita oleh orang lain akan dianggap sebagai orang yang pemalas, tidak punya etos kerja yang baik, tidak bisa diandalkan dampak dari malas ini sungguh tidak baik.. dan taukah? malas itu asal mulanya dari setan. ketika kita malas melakukan pekerjaan yang bernilai kebaikan atau berbuah kebermanfaatan, bukan cuma dalam perkara ibadah deh, bahkan semua orang itu punya setan dalan dirinya, entah dia agamanya islam, kristen, konghucu, katolik, hindu, budha, semua orang dibekali bisikan bernama setan. nah setan ini punya visi misi, kenapa dia menggangu manusia, misi terbesarnya adalah membuat manusia berdosa, lalai dari mengingat siapa Tuhannya. sehingga nanti balasan di akhirat adalah neraka, cuma itu yangd iinginkan sama mereka. nah kabar baiknya, seorang muslim itu punya yang namanya iman...
Banyak sekali pelajaran yang aku petik di awal-awal bulan 2016. Ada sesuatu yang bereaksi, yang mau tidak mau menempa diriku secara perlahan. Banyak sekali perbedaan kejadian yang sesungguhnya tak boleh aku samakan dengan kejadian yang dulu. Kelas tiganya SMA jelas beda dong dengan kelas tiganya SMP. Tapi perbedaan itu sedikit sulit aku terima. Pada ujungnya, ketidakterimaanku ini membuatku menunjuk berbagai hal sebagai korban. Mereka menjadi pelampiasan kemarahanku, diriku semakin tak terkendali. Alih-alih berjuang demi kesuksesan itu dari hari ke hari semakin luntur, meluruh pelan. Aku pun tak kunjung sadar juga meskipun aku sadar dan cukup waras untuk melihat apa yang terjadi. Benar, belajar berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) tidaklah mudah. Tidak enak. Hampa. Sekalipun banyak orang ingin hidup sendiri, tak ada yang mengatur, tak ada yang memarahi, bebas. Tetapi tidak bagiku. Bagiku, hidup itu haruslah berteman, haruslah ada penopang ketika diri kita hampir tumbang,...
Comments